Kisah Nyata, Kyai Wafat Ketika Mengucap Laa Ilaaha Illallah


Dzikir - ilustrasi
Mentari senja mulai menunjukkan keindahannya.Sepoi angin bertiup menambah syukur tak terkira. Udara pegunungan yang sejuk menambah kesyahduan dalam beribadah, menghamba pada Sang Maha Esa.
 
Lelahpun sejenak sirna ketika tubuh yang telah bersimbah peluh, diguyur dinginnya air pegunungan yang merasuk nikmat ke dalam tubuh.
 
Adzan Ashar pun bersambut dengan bondongan warga yang memang sengaja rehat lebih awal dari biasanya. 
 
Hari ini, adalah Jum’at. Merupakan hari yang biasa digunakan oleh Pak Kyai untuk mengumpulkan warga dan mendengarkan sajian-sajian ruhani tiap pekannya.

Tanpa terkecuali, semuanya menuju arah pojok kampung, kediaman Pak Kiyai di samping Masjid nan bersahaja itu. Sebuah pemandangan yang selalu membuat rindu, membuat iri bagi siapa yang mendamba pertemuan sejati dengan Yang Maha Tinggi, Allah Robbul Izzati.

Pak Kiyai telah menunggu jama’ah sedari tadi. Semenjak muadzin belum mengumandangkan panggilan cinta. Beliau nampak bersahaja dengan balutan pakaian putih, warna kesukaan sang Nabi, panutan setiap insan beriman. Wajahnya keriput, namun bercahaya. Tubuhnya renta, namun tampak gagah. Suaranya, lembut, berisi bahkan hujamannya mampu menembus kalbu setiap jama’ahnya. Tak ayal, setiap selesai dzikir berjama’ah, wajah-wajah lelah jama’ah seketika menjadi berseri seri, sumrigah penuh gairah. Subhanallah, itulah rahasianya dzikir : menenangkan hati.

Sholat Ashar pun selesai dengan syahdu. Selepas dzikir sejenak, para jama’ah segera mengambil tempat duduknya, merapikan bekas sholat dan agak merapat untuk bersiap berdzikir, bersama Sang Kyai.

Pak Kiyaipun dengan wibawanya mengambil micropone yang telah ditawarkan oleh pembawa acara, dzikir akan segera dimulai. Seperti Jum’at–jum’at yang lalu, para warga mengikuti program yang telah disepakati bersama ini. Dalam forum inilah warga mendapat pencerahan tentang nilai-nilai Ilahiyah sembari menikmati arti sebuah kebersamaan. 
 
Di sini, warga belajar akan arti persahabatan. Di mana persahabatan, bukan terbatas pada duniawi, bukan sebatas sawah, urusan perut dan duniawi lainnya. Bukan pula rumah beserta perabotnya, bukan pula istri dengan seluruh keunikannya. Warga betul-betul mengerti bahwa ikatan yang telah dijalin di dunia ini, haruslah dipertahankan hingga kelak bertemu lagi di surgaNya.

Beliau memimpin dzikir dengan tartil, pelan disertai muatan ruhani yang begitu menguatkan. Tanpa geleng-geleng kepala seperti manusia kebanyakan melakukaknnya, dan tanpa buru-buru sehingga makna dan suaranya berubah. Beliau begitu syahdu dalam memimpin, bahkan kemudian, aliran energi alam seakan mengikuti alunan bacaan beliau.

Kali ini, beliau membaca dengan sangat lama, jika seratus kali kalimat Laa Ilaaha Illallah biasanya beliau tempuh dalam 20 menitan, kali ini sudah lebih. Bahkan hampir setengah jam beliau terdiam khusu’ sementara para jama’ah terus mengikutinya.

Karena lelah yang tersisa, seorang pemuda peserta dzikir yang tertidur di samping Pak Kiyai mengantuk sehingga terjatuh menimpa tubuh beliau yang tengah menunduk. Diapun terbangun kaget sembari membenarkan posisi duduknya.

Seketika, dzikir berhenti, jama’ah mulai bingung. Pak Kiyai tetap diam dalam robohnya, beliau tak bergerak. Pemuda itu akhirnya mengambil inisiatif untuk membangunkan Pak Kiyai, siapa tahu beliau lelah karena beliau jg sama-sama bekerja menggarap ladang miliknya di siang hari.

Dalam jenak, sambil mendekap tubuh Pak Kiyai, pemuda itu menangis sembari mengucapkan, “Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Roji’un.” Jama’ah pun terhenyak dan mengucapkan kalimat serupa bersamaan, tanpa dikomandoi. Pak Kiyai, mengakhiri perjalanan hidupnya dengan kalimat thoyyibah itu.
 

#Ditulis bebas dari ceramah Habiburrahman el-Shirazy, berdasarkan penuturan beliau, kisah ini adalah nyata dan terjadi di Daerah sekitar Semarang Jawa Tengah.
 
 
Penulis : Pirman
Redaksi Bersamadakwah.com


0 komentar: